Prof Henri Subiakto Tidak Setuju Starlink Berada di Indonesia, Ini Alasannya

- 21 Mei 2024, 11:44 WIB
Prof Henri Subiakto Tidak Setuju Starlink Berada di Indonesia, Ini Alasannya
Prof Henri Subiakto Tidak Setuju Starlink Berada di Indonesia, Ini Alasannya /Detak Sumut/Istimewa/

DETAKSUMUT.ID - Starlink berbahaya bagi Indonesia. Hal itu dikatakan Mantan Staf Ahli Menkominfo Henry Subiakto yang merupakan Guru Besar Komunikasi Universitas Airlangga Prof Henri Subiakto di Jakarta, Selasa, 21 Mei 2024.

"Saya tidak setuju Starlink (Layanan Internet berbasis Satelit-red) diizinkan beroperasi di Indonesia. Starlink tak hanya berpotensi membangkrutkan perusahaan nasional di bidang telekomunikasi dan internet service provider, seperti grup Telkom, Indosat dan lain-lain," kata Henri.

Tapi, sambungnya, Starlink juga bisa dimanfaatkan oleh kekuatan separatisme seperti KKB/OPM dan pendukungnya untuk berkomunikasi antar mereka tanpa bisa terdeteksi oleh negara atau pemerintah Indonesia. Starlink berpotensi akan mengoyak NKRI tanpa pemerintah bisa mengontrolnya," kata Henri.

Baca Juga: Henri Subiakto: Penangkapan Palti Salah Menerapkan Pasal UU ITE

Makanya, ungkapnya, Starlink lebih banyak digunakan oleh negara-negata satelit atau pendukung politik Amerika Serikat. Kenapa demikian? Karena satelit Starlink memiliki perbedaan signifikan dibandingkan dengan satelit biasa, seperti Palapa, Satria, Kacific, Telkom 1 atau satelit-satelit lain milik luar Eropa maupun AS di luar Elon Musk.

"Starlink adalah satelit Low Earth Orbit (LEO) yg beroperasi dengan ketinggian sekitar 340 hingga 1.200 km di atas permukaan bumi. Satelit Starlink ukurannya kecil jumlahnya ribuan dirancang untuk bekerja bersama-sama secara sinkron dalam menyediakan layanan internet. Mereka itu seolah seperti BTS terbang," jelasnya.

Sedang, kata Henri, satelit komunikasi konvensional ditempatkan di orbit geostasioner (GEO) sekitar 35.786 km di atas khatulistiwa bumi, di mana mereka tetap berada di satu titik relatif terhadap permukaan bumi. Untuk bisa melayani publik membutuhkan perangkat stasiun bumi.

"Setiap satelit Starlink beratnya sekitar 260 kg. Satelit GEO umumnya lebih besar dan lebih mahal karena teknologi dan perlengkapan yang lebih kompleks, serta kebutuhan untuk bertahan di orbit yang lebih tinggi," jelasnya.

Dibeberkannya, Starlink menggunakan teknologi phased-array untuk antena, yang memungkinkan satelit mengarahkan sinyal tanpa harus memindahkan satelit itu sendiri. Sistem ini dirancang untuk latency rendah dan kecepatan tinggi. Alat penangkap sinyal satelit hanya menggunakan antena kecil dan alat seukuran laptop besar yang dapat dipindah-pindahkan.

Halaman:

Editor: Abdul Rahim Daulay


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah