Refleksi 78 Tahun Kemerdekaan RI Sekretaris Umum PP GMKI: Antara Tantangan dan Harapan ber-Indonesia

- 18 Agustus 2023, 12:46 WIB
Artinus Hulu.
Artinus Hulu. /Detaksumut/ist/

DETAKSUMUT.ID - Hari ini, setiap orang yang mengaku dirinya “Indonesia” kembali diingatkan untuk sejenak menyisipkan doa dan syukur atas peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia sebagaimana jauh telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Ungkapan syukur ini juga tentunya harus sejalan dengan tindakan aktif untuk terus merefleksikan jalan panjang perjalanan bangsa ini, termasuk fungsi apa saja yang sedang diemban dan/atau hendak diperankan oleh tiap-tiap kita dalam kesadaran kolektif memajukan Indonesia menjadi negara yang merdeka seutuhnya. 

Terhitung genap ke-78 tahun bangsa ini mengingat-rayakan kemerdekaannya. Secara historikal, kemerdekaan yang didapatkan bukanlah pemberian cuma-cuma dari bangsa lain, atau hadiah dari sekutu atas kemenangan dalam Perang Dunia II waktu itu, melainkan diraih karena jerih payah seluruh elemen bangsa Indonesia. Adalah buah dari perjuangan panjang segenap rakyat Indonesia dalam menumbangkan segala bentuk kolonialisasi yang bercokol di Nusantara. 

Tema yang diusung Pemerintah dalam upaya mengingat-rayakan kemerdekaan Indonesia ke-78 tahun 2023 adalah “Terus Melaju untuk Indonesia Maju". Tema ini sejatinya menggambarkan semangat untuk terus maju dan melaju sebagai bangsa yang merdeka dan beradab dalam semua lapangan kehidupan, baik dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya, maupun politik. Tema ini juga menunjukan tekad dan spirit perjuangan dalam mencapai kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Indonesia.

Baca Juga: Ada Dugaan Jual Beli Jabatan Kepsek Mtsn 1 PSP Yang Terindikasi Libatkan Mantan Kakanwil Kemenag Sumut

Berbagai pihak, baik dari tokoh politik, budaya, masyarakat dan muda memberikan refleksi 78 kemerdekaan Indonesia. Salah satunya Sekretaris Umum Pengurus Pusat GMKI M.B 2022-2024, Artinus Hulu yang dalam catatannya, terdapat berbagai kondisi yang menjadi gambaran pergumulan dan tantangan ber-Indonesia dewasa ini.

Pertama, katanya, era digitalisasi dan disrupsi teknologi informasi. Bentuk tantangan ini sudah menjadi rahasia umum, bahwa digitalisasi cenderung memberikan pemahaman yang keliru bagi sebagian masyarakat.

"Sajian informasi melalui situs-situs tertentu telah memproduksi berita hoaks yang berseliweran di media sosial. Layaknya “banjir” yang menghanyutkan kewarasan publik. Produksi berita bohong begitu massif dan dianggap sebagai kebenaran. Ironinya, tidak sedikit oknum yang memanfaatkan platform teknologi digital ini untuk penggiringan pemikiran dan kepentingan sempit. Hal ini diperparah juga dengan kondisi literasi digital masyarakat yang masih cenderung melemah," jelas Artinus yang juga mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Indonesia tersebut pada Kamis, 17 Agustus 2023.

Yang kedua, kata Artinus yaitu politik identitas menjelang Pemilu 2024. Suatu bahaya fatal bila melemahnya literasi digital sejalan dengan melemahnya literasi politik masyarakat.

"Hal ini tampak dalam praktik politik identitas yang cenderung masih laku dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat di Indonesia. Menjelang pesta demokrasi lima tahunan, berbagai atribut calon anggota legislatif dan calon presiden sedemikian berseliweran di ruang publik. Tak terkecuali polesan narasi para calon yang masih menonjolkan basis politik identitas berdasarkan Suku, Ras, dan Agama (SARA). Bagi masyarakat yang tidak kritis, tentu berkonsekuensi bagi terciptanya pembelahan sesuai skema kepentingan elite politik," jelasnya.

Terus yang ketiga, lanjut Artinus, merajalelanya logika transaksional. Di era dewasa kini, hampir bisa ditebak bahwa hampir seluruh basis relasi sosial terbangun di atas logika transaksional.

"Fenomena ini tidak hanya berlaku dalam area politik makro, tetapi juga dapat dijumpai dalam hidup keseharian. Ruang-ruang kerja sama atau gotong royong sebagaimana budaya asli bangsa Indonesia perlahan bergeser menjadi wilayah individualisme dan pragmatisme kelompok berkepentingan," sambungnya.

Katanya, dibalik berbagai tantangan yang menghadang bangsa Indonesia, tentu terdapat sejuta harapan dalam upaya mewujudkan kemerdekaan yang sejati. Hal ini, menurutnya mestinya direfleksikan oleh setiap orang guna memaknai momentum kemerdekaan kali ini. Beberapa poin berikut ini yang menjadi konsen refleksi.

Yang pertama, kata Artinus adalah merdeka dari kemiskinan dan ketimpangan sosial ekonomi. Semua mengetahui bahwa Indonesia adalah negara kepulauan dengan berbagai heterogenitas dan potensi yang sumber daya alamnya. Tentu ini bukan saja tugas pemerintah semata, melainkan tanggung jawab setiap warga bangsa untuk berpikir dan bertindak “Indonesia Sentris” dalam upaya mewujudkan Indonesia maju dan melaju sejahtera.

"Pelibatan pemuda dianggap penting dan urgen dalam hal ini. Pemuda memiliki peran dan fungsi sebagai agen perubahan dan kontrol sosial dalam menyelaraskan pembangunan kesejahteraan. Apalagi negara telah mengeluarkan grand design Indonesia Emas 2045. Ini menjadi konsentrasi dan komitmen kebangsaan semua pihak, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh stakeholder untuk menyelenggarakan kesejahteraan yang adil dan merata," sambungnya.

Yang kedua, kata Artinus adalah menggelorakan semangat moderasi ber-Indonesia. Menjadi komitmen bersama bagi bangsa ini untuk kembali menguatkan dan mempromosikan nilai-nilai kebangsaan, seperti halnya nilai persatuan, gotong-royong, dana toleransi dalam keberagaman. Nilai-nilai tersebut tidak lain merupakan kekhasan dari identitas bangsa Indonesia.

"Moderasi ber-Indonesia adalah sebuah komitmen sekaligus prinsip yang harus dibangun di tengah kondisi kebangsaan dewasa ini yang kerap dirongrong oleh pelbagai tantangan sebagaimana tergambar dan diulas pada bagian sebelumnya. Semangat moderasi beragama sejalan dengan semangat membangun persatuan di bumi yang kompleks kultural (multikultural), dengan sembhoyan Bhinneka Tunggal Ika," lanjutnya.

Ketiga, kata Artinus yaitu transformasi politik menuju Pemilu 2024. Para prinsipnya, politik identitas nyatanya tidak memberi efek positif, tetapi sebaliknya justru merusak tatanan hidup bersama dan menjauhkan bangsa ini dalam upayanya mencapai tujuan pembangunan nasional. Politik identitas jelas-jelas tidak memerdekakan, melainkan membentuk perilaku manusia untuk saling fitnah dan penuh kebencian. Praktik semacam ini kerap terjadi bila mendekati momentum politik, tak terkecuali Pemilu 2024 nanti.

Baca Juga: Bawaslu RI Umumkan Komisioner Terpilih Bawaslu Kabupaten/Kota di Sumbar, Siapa Saja ? Cek Disini

Dengan demikian, kata Artinus, setiap aktor politik perlu membangun nuansa politik yang etis dan humanis. Artinya politik yang mengutamakan karakter keindonesiaan, seperti karakter kesantunan dalam penyelenggaraan momentum politik 2024, dan jauh dari sikap politik identitas yang reaksioner dan merusak. Menjelang perhelatan demokrasi lima tahunan itu, idealnya diskursus-diskursus seputar gagasan calon, visi dan misinya untuk masa depan Indonesia perlu diarus-utamakan. 

"Momentum peringatan Hari Kemerdekaan adalah sebuah kesempatan bagi kita semua untuk merayakan ingatan kolektif kita tentang sejarah, identitas, dan aspirasi masa depan bangsa Indonesia. Ini adalah momen refleksi dan konsolidasi akbar dalam mendudukan tantangan sekaligus merajut harapan untuk menyongsong Indonesia yang maju dan terus melaju pada masa-masa yang akan datang.  Dirgahayu NKRI," tutup Artinus.

Editor: Fauzaki Aulia


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah